Sabtu, 13 Juni 2015

Beras Plastik, Singkong, dan Beras Cerdas (2)

Demikian juga pada level pemerintahan daerah, jajaran terkait, hingga aparat penegak hukum tidak lepas dari upaya mengecek dan mencegah peredaran beras palsu tersebut. Hampir setiap daerah dan sejumlah instansi semakin sibuk melakukan pemeriksaan ke pasar dan sentra penjualan beras.

Salah satu contoh adalah Pemerintah Kabupaten Bengkalis, Provinsi Riau, yang mengimbau warga di daerah itu meningkatkan kewaspadaan terkait peredaran beras plastik. "Masyarakat harus selektif, teliti, cermat dan berhati-hati dalam membeli beras karena saat ini marak beredar beras plastik," kata Bupati Bengkalis Herliyan Saleh di Bengkalis, Sabtu (23/5).

Faktanya, tidak hanya Bengkalis melakukan berbagai upaya tersebut. Hampir semua kabupaten dan kota-kota besar sibuk melakukan operasi dan pencegahan tersebut. Di semua daratan Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Bali-Nusa Tenggara hingga Papua berjibaku untuk mengecek keberadaan beras yang berbahaya itu. Energi, waktu, dan biaya yang dikeluarkan cukup besar untuk melakukan berbagai aktivitas dan koordinasi tersebut.

Namun, sebagaimana Jokowi, motif ekonomi saja sulit dipahami. Untuk itu harus digali lebih jauh. Darimana beras bermasalah tersebut? Sejauh mana dampak dan distribusinya hingga bagaimana korban di sejumlah daerah? Atau ini sekadar pengalihan isu yang sedang hangat (mulai dari politik hingga prostitusi artis dan pejabat), ataukah ada agenda tertentu untuk melancarkan impor beras? Semua dugaan di atas harus dikonfirmasi sehingga dalam waktu secepatnya sudah tuntas dan tidak ada lagi polemik berkepanjangan.

Beras yang Baik dan Sehat
Bagi perintis beras sintentis yang juga pakar pangan dari Lembaga Penelitian Universitas Jember, Achmad Subagio, isu beras yang dicampur dengan plastik tersebut, menjadi momentum agar masyarakat mengetahui beras yang baik dan sehat. Menurut penemu beras berbahan baku singkong atau yang dikenal dengan Beras Cerdas ini, masyarakat selama ini salah kaprah terhadap beras yang sehat dan baik. Setidaknya ada tiga hal yang dinilai keliru tersebut, yakni beras harus putih, pulen, dan wangi. “Padahal, sifat asli beras itu sendiri bukan putih cerah melainkan putih kecoklatan sehingga beras yang sangat putih patut diwaspadai,” katanya.

Demikian juga semakin wangi dan semakin pulen sebenarnya bukanlah beras dengan kategori yang berkualitas. Beras sebenarnya tidak ada yang berbau wangi tetapi lebih mengarah pada tidak berbau dan sedikit tengik. “Jadi keliru jika ada beras yang sangat wangi,” katanya. Demikian juga beras pulen justru tidak sehat karena sangat memaksa kerja insulin tubuh manusia.

Dia menjelaskan, keberadaan plastik dalam beras sebenarnya bukanlah campuran belaka, tetapi menjadi bahan perekat atau sejenis polimer dari butiran beras. Perekat biasa digunakan dalam membuat beras tiruan atau lebih tepatnya beras sintetis karena pembuatannya dari bahan karbohidrat selain beras dari padi. Perekat itu untuk menguatkan struktur beras sintetis tadi. Dalam kasus yang diduga beras plastik sebenarnya bisa saja polivinil klorida menjadi perekat.
“Dalam pembuatan Beras Cerdas dari tepung singkong, kami gunakan santan sebagai perekat,” kata Achmad yang juga guru besar Fakultas Pertanian, Universitas Jember ini.

Disebut Beras Cerdas karena, pertama, beras dikonstruksikan dari tepung singkong lokal modified cassava flour (mocaf). Kedua, cerdas dalam proses karena beras tersebut diproses dari teknologi tingkat rendah (bisa diproduksi oleh warga) hingga perusahaan. Cerdas ketiga adalah dapat dimasak secara sederhana seperti kebiasaan orang Indonesia dalam mengolah beras. Sedangkan cerdas keempat adalah pemanfaatan kesehatan (bahan baku disesuaikan untuk target spesifik kesehatan tertentu seperti malnutrisi).

Heri Soba/HS

Tidak ada komentar:

Posting Komentar