Jumat, 16 April 2010

Kadin Indonesia menggelar Roundtable Discussion Singkong bertema Singkong Sejahtera Bersama

Roundtable Discussion Singkong - Selamatkan Komoditas dengan Pengembangan Industri Pascapanen
Popularitas singkong ibarat tertelan zaman. Sebagai bahan pangan, ubi kayu tidak banyak dilirik. Padahal, komoditas ini potensial menjadi sumber devisa negara. Kadin Indonesia menggelar Roundtable Discussion Singkong bertema “Singkong Sejahtera Bersama” pada 12 April 2010 di Menara Kadin Indonesia-Jakarta.

Direktur Budi Daya Kacang-kacangan dan Umbi-umbian Ditjen Tanaman Pangan Kementerian Pertanian Muchlizar Murkan mengakui banyak kendala dalam peningkatan produksi ubi kayu ini. "Kendala ini tidak hanya pada sistem benih yang belum berkembang, tapi juga belum dipakainya pupuk yang unggul," ujarnya kemarin.

Menurut dia, para petani ubi kayu masih enggan menggunakan benih unggul, pupuk, teknologi dan penerapan pemeliharaan tanaman yang baik dan benar. Alhasil, Muchlizar mengakui petani ubi kayu banyak yang berpindah ke jenis tanaman lainnya. Dalam 5 tahun terakhir, luas panen areal singkong terus mengalami penurunan 0,63%. Akar masalah dari sejumlah kendala di atas akibat harga jual ubi kayu yang masih rendah dan cenderung fluktuatif. Ketua Asosiasi Petani Singkong Seluruh Indonesia Suparjan menuturkan harga beli produk rendah dan penerapan teknologi yang minim.


"Kami menghadapi keterbatasan modal, akses kepada pasar yang rendah, serta ketidakpastian musim akibat perubahan iklim," keluhnya.

Karena itu, dia berharap pemerintah membantu memperkuat posisi tawar petani melalui pelatihan budi daya singkong dan proses pengolahan untuk meningkatkan nilai tambah hasil panen ubi kayu. Di lain pihak, Ketua Komite Tetap Ketahanan Pangan Kadin Indonesia Franciscus Welirang menyatakan peningkatan produksi tidak dapat dilepaskan pada ketersediaan lahan dan jenis benih yang digunakan.

"Pemerintah perlu berperan dalam mengklasifikasikan berapa banyak porsi ubi kayu yang digunakan untuk pangan, pakan, dan industri," ujarnya.

Menurut dia, singkong bisa diproses lebih lanjut menjadi produk yang bernilai jual lebih tinggi, seperti biofuel dan tepung tapioka. rnrnDua produk turunan singkong ini prospektif laku di pasar internasional. Tentunya, dengan ketersediaan lahan yang terjamin dan penerapan teknologi pemicu produktivitas, Indonesia bisa bersaing dengan Thailand dan Vietnam. Memang tidak dapat dipersaingkan dengan kelapa sawit, karet atau kakao, tetapi singkong juga bisa menguntungkan jika ada komitmen membangun industri terintegrasi.

Franciscus Welirang juga menambahkan bahwa pengembangan industri jasa pascapanen sangat diperlukan untuk mendukung pengembangan industri makanan. Saat ini sekitar 50 persen dari hampir semua komoditas pertanian yang dibudidayakan di dalam negeri terbuang menjadi sampah. Potensi keuntungan yang hilang tersebut kemudian dibebankan kepada konsumen dan petani sehingga harga komoditas pertanian bagi petani terasa murah dan bagi konsumen mahal.

Dengan mengembangkan industri jasa pascapanen, daya tahan setiap komoditas bisa lebih lama sehingga dapat meminimalisasi hilangnya potensi keuntungan. Namun, pengusaha belum melirik usaha jasa pascapanen karena ketidakjelasan aturan, misalnya terkait penerapan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) untuk komoditas primer yang dicuci, dipotong, dikemas, dan diawetkan untuk memberikan jaminan bagi kelancaran pasokan bahan baku bagi industri makanan.

Indonesia pernah tercatat sebagai negara terbesar ketiga pengekspor produk singkong dunia dengan kontribusi sekitar 5,8% dari total kebutuhan global pada era 2005. Memang masih jauh dari eksportir terbesar, Thailand, yang memasok 77% pasar singkong dunia. rnrnSementara itu, produsen ubi kayu terbesar dunia masih berada di Nigeria. Negara ini dan sejumlah negara lain di Afrika memproduksi sekitar 99,1 juta ton singkong, sedangkan 51,5 juta ton dihasilkan oleh negara-negara di Asia. Saat ini sebuah perusahaan Korea Selatan, EN3 Green Energy Co Ltd, membangun tiga pabrik bioetanol berbahan baku singkong di Gowa dan Takalar, Sulawesi Selatan. Dana yang diinvestasikan untuk tiga pabrik tersebut mencapai Rp 1,2 triliun.

Ketua Masyarakat Singkong Indonesia Marwah Daud Ibrahim menjelaskan, pabrik tersebut diprediksi mulai beroperasi dua-tiga tahun mendatang untuk menunggu kecukupan pasokan bahan baku. Perusahaan Korsel tersebut tersebut telah masuk ke Indonesia sejak dua tahun lalu dengan mendirikan dua unit pabrik terpadu (IPPU 1 dan IPPU2) yang memproduksi chip tapioca (dried cassava chip), tepung cassava (chip cassava flours), dan bahan pakan ternak.

Dilansir dari media nasional: Bisnis Indonesia, Diena Lestari Kompas - Hermas Investor Daily-Alina Musta

Sumber: www.kadin-indonesia.or.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar